REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Mei 17, 2009 pukul 6:11 pm | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar

Tanggal 2 Mei 2009 adalah hari Pendidikan Nasional. Hari di mana lahirnya pendidikan yang menjadi cikal bakal peradaban menuju kemajuan bangsa Indonesia, karena melalui pendidikan bangsa akan dihormati dan dikenal oleh negara-negara dunia.

Secara historis, hari Pendidikan Nasioanal terilhami dari kelahiran salah satu tokoh sekaligus pelopor pendidikan kaum pribumi Indonesia pada zaman kolonial Belanda yang menonjol sejak jaman pra kemerdekaan, yakni Ki Hajar Dewantara atau yang bernama asli Soewardi Soerjaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta, 2 Mei 1889 wafat pada 26 April 1959.

Dalam pengertian terminologi, Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar yang sukses menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini.

Adapun filosofi pendidik menurut Ki Hajar Dewantara sendiri adalah berasal dari semboyan. “tut wuri handayani” yang berasal dari ungkapan aslinya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).

Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan dari pendidikan nasional kita. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian.

Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual.

Pendidikan juga hendaknya tidak hanya sekedar mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan diri dari masyarakat. Pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. Pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri. Setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan- kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.

Menurut Ki Hajar, dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu.

Humanisme pendidikan menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Inilah yang menurut Ki Hajar Dewantara harus dikembangkan karena pendidikan juga menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand ”.

Ki Hajar Dewantara senantiasa melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia.

Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.

Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.

Metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini menurut Ki Hajar adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).

Efektifitas seorang guru, memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator) dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain, keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Dengan demkian, model yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pedagogik transformatif. Yaitu, berupaya mengtransformasikan potensi yang ada pada diri seseorang karena ia sebagai makhluk bebas, sehingga ia dapat mentransformasikan dirinya dengan lingkungan, adat istiadat, lembaga masyarakat sekitarnya. (H. A R. Tilaar, 2005).

Hemat penulis, sudah saatnya para pendidik (guru) di indonesia mulai berbenah diri. Memosisikan dirinya sebagai Ki Hajar Dewantara, yakni tidak hanya bisa mengajar akan tetapi bisa mendidik dengan baik. Karena, sejauh ini para guru terkesan belum memiliki kesadaran tanggung jawab untuk menyelamatkan anak didik dari lubang kebodohan. Mereka setengah hati dalam menjalankan tanggung jawab diri sebagai para pendidik.

Harapan kita, semuga para guru-guru terpanggil untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan menggunakan pandangan yang sangat luas, yakni tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan setinggi mungkin yang tidak diberangi dengan sebuah perubahan dan tanggung jawab.

Menjadi seorang guru yang betul-betul memegang teguh pada prinsip dan bekerja secara profesional harus bisa dikerjakan secara riil. Sejatinya, menjadi para pelayan bagi anak-anak didik pun harus bisa diupayakan dengan penuh tanggung jawab sebab ini berbicara nasib masa depan bangsa ke depan. Selamat Hari Pendidikan Nasional. (*)

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.